Patah Hati dan Hilangnya Kepercayaan: Ketika Penjelasan Tak Lagi Cukup

Patah Hati dan Hilangnya Kepercayaan: Ketika Penjelasan Tak Lagi Cukup


Sebuah Pilihan dan Patah Hati: Cerita Tentang Kepercayaan yang Hilang. Aku tidak pernah menyangka bahwa kepercayaan bisa runtuh hanya karena sebuah pilihan. Pilihan yang terlihat sederhana, namun meninggalkan luka yang mendalam. Wanita itu—dia yang selalu kupercaya—memutuskan untuk pergi bersama seorang lelaki untuk sebuah pekerjaan. Meski dia punya pilihan untuk tetap tinggal, setidaknya itu yang kupikirkan.


Aku yakin, jika wanita lain berada di posisinya, mereka pasti akan menolak. Tidak mudah bagi seorang wanita untuk pergi bersama seorang lelaki, apalagi di dunia yang diatur oleh norma-norma budaya dan agama yang kami yakini. Budaya dan agama mengajarkan bahwa seorang wanita tidak seharusnya menempatkan dirinya dalam situasi seperti itu. Bukannya dia tidak punya pilihan untuk menolaknya, tapi dia memilih untuk pergi. Dan setiap kali aku memikirkannya, bayangannya berubah menjadi sesuatu yang lebih rendah—seperti wanita murahan di mataku.


Saat wanita itu memutuskan untuk pergi bersama lelaki, aku merasakan kepercayaanku padanya mulai runtuh. Namun, ketika dia mencoba menyakinkanku dengan meminta maaf dan memberikan penjelasan yang panjang, aku sadar bahwa kepercayaanku telah benar-benar hilang. Bukan karena penjelasannya tidak masuk akal, tetapi karena di dalam diriku, ada sesuatu yang sudah retak dan tidak bisa diperbaiki.


Dia berbicara panjang lebar, berusaha menjelaskan situasinya, bahkan mengakui bahwa mungkin dia salah menilai keadaan. Tapi masalahnya, aku tidak bisa lagi mempercayai kata-katanya. Setiap kata yang dia ucapkan, setiap penjelasan yang dia coba berikan, terasa hampa di telingaku. Bukan karena aku tidak mau mendengarnya, tapi karena aku tidak bisa lagi percaya. Yang aku butuhkan adalah validasi, sebuah bukti kebenaran yang bisa menenangkan pikiranku yang terus bergejolak. Namun, semua itu sudah terlambat. Tidak ada cara untuk memvalidasi kesalahan dan kecurigaanku yang telah terjadi, tidak ada cara untuk membalikkan waktu dan memperbaiki apa yang sudah rusak.


"Mengakhirinya lebih baik," kataku dalam hati, berusaha menguatkan dan meyakinkan diriku sendiri. Semakin aku memikirkan hal itu, semakin kuat keyakinanku bahwa ini adalah keputusan yang benar. Seketika, semua hal buruk tentang dirinya memenuhi pikiranku. Semua kenangan manis yang pernah kami lalui bersama seolah lenyap, digantikan oleh bayangan-bayangan negatif yang mulai menghantuiku. Aku tidak bisa lagi melihat kebaikan dalam dirinya; yang tersisa hanyalah rasa sakit dan penyesalan.


Lalu, suara itu datang. Suara yang merendahkan, mengisi kepalaku dengan kata-kata kasar. "Anjinglah, sok cantik! Muka kayak kertas amplas aja pun. Kok bisa aku pacaran sama wanita sepertimu?" Suara itu bergema, semakin keras dan semakin menyakitkan. Aku tahu itu bukanlah cara berpikir yang sehat, tapi pada saat itu, aku tidak bisa menahannya. Rasa kecewa dan marah telah menguasai diriku, membuatku kehilangan kontrol atas perasaanku.


Aku tidak sendirian dalam perasaan ini. Teman wanitaku, (cewek yang baik, beriman, dan berbudaya), yang kupercayai dan sering berbagi pandangan, juga berpikir sama. "Kenapa harus dia? Memang tidak ada yang lain?" katanya dengan nada tak setuju. "Kalau aku di posisinya, aku pasti ketakutan jika harus pergi bersama pria, meskipun itu teman kantorku," tambahnya. Kata-katanya membenarkan apa yang aku rasakan. Baginya, pergi bersama seorang pria dalam situasi seperti itu adalah hal yang tidak wajar, apalagi bagi wanita yang menghargai nilai-nilai budaya dan agama.


"Aku tahu itu kamu," kataku, mencoba meredakan rasa sakit di dalam dada. Tapi kenapa wanita yang kucintai tidak bisa berpikir seperti itu? Dia malah terlihat gembira, seakan menikmati kesempatan untuk pergi dan bekerja bersama lelaki tanpa berpikir. Dan itu membuatku kesal. Ada perasaan yang tidak bisa dijelaskan—rasa sakit yang mendalam, kepercayaan yang hancur.


Temanku, melihatku yang mulai tenggelam dalam perasaan negatif, mencoba memberikan perspektif lain. "Mungkin budaya kita tidak sama dengan budayanya," katanya. "Dunia ini luas, dan orang punya cara pandang yang berbeda." Dia benar, aku harus mengakui itu. Namun, dia menambahkan sesuatu yang membuatku terdiam. "Lagipula, kamu sudah diberi cewek yang baik, beriman, dan berbudaya. Kamu malah merasa tidak pantas."


Aku hanya bisa diam, merenungi kata-katanya. Mungkin dia benar. Mungkin perasaanku ini terlalu subjektif, terlalu dipengaruhi oleh rasa idealis yang kupegang teguh. Tapi bagaimana pun juga, kepercayaan yang telah hancur sulit untuk dipulihkan. Meski aku tahu dunia ini luas dan penuh dengan berbagai perspektif, hati ini tetap merasakan luka yang sama.


Pada akhirnya, yang bisa kulakukan hanyalah menerima kenyataan. Patah hati ini, hilangnya kepercayaan, adalah bagian dari perjalanan hidup. Mungkin dengan waktu, aku akan bisa memahami dan memaafkan, baik dirinya maupun diriku sendiri. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa berdiri di atas reruntuhan kepercayaan itu, berharap suatu hari nanti aku bisa membangunnya kembali, entah dengan siapa, entah kapan. Silahkan berikan komentar kalian guys https://www.haris.eu.org/

Next Post Previous Post
1 Comments
  • Anonim
    Anonim 17 Agustus 2024 pukul 08.57

    😱

Add Comment
comment url