Ditemukan Hidup Namun Membusuk dalam Ekspektasi

Ditemukan Hidup Namun Membusuk dalam Ekspektasi


Dalam perjalanan hidup, kita sering kali menemukan diri kita terperangkap dalam ekspektasi yang perlahan-lahan membusuk di dalam jiwa. Ekspektasi itu bisa datang dari berbagai sumber—diri kita sendiri, orang lain, atau bahkan dari gambaran ideal yang kita serap dari masyarakat. Kita hidup, tetapi dengan beban berat yang tidak terlihat, perlahan terkikis oleh keinginan-keinginan yang tidak pernah tercapai.


Ekspektasi adalah hal yang paradoksal. Ia bisa menjadi api yang menyulut semangat, namun juga bara yang menghanguskan kebahagiaan kita secara perlahan. Dalam dunia yang penuh dengan tuntutan dan standar yang terus meningkat, kita sering kali terjebak dalam lingkaran setan: mengejar kesempurnaan yang tidak pernah datang, sambil merasa diri kita semakin jauh dari apa yang seharusnya kita capai.


Seperti yang pernah dikatakan oleh penyair John Green dalam bukunya Looking for Alaska, “Membayangkan masa depan adalah sejenis nostalgia. Kamu menghabiskan seluruh hidupmu terjebak dalam labirin, berpikir tentang bagaimana kamu akan melarikan diri suatu hari nanti, dan betapa hebatnya itu, dan membayangkan masa depan itu membuatmu terus bertahan, tetapi kamu tidak pernah benar-benar melakukannya. Kamu hanya menggunakan masa depan untuk melarikan diri dari saat ini.” Kutipan ini menggambarkan bagaimana kita sering kali terperangkap dalam ekspektasi masa depan yang indah, namun lupa untuk menikmati atau menerima kenyataan saat ini. Alih-alih hidup dalam kebahagiaan, kita malah membusuk dalam bayang-bayang masa depan yang tidak pasti.


Ekspektasi yang terlalu tinggi juga bisa menghancurkan hubungan kita dengan orang lain. Kita mulai menuntut terlalu banyak dari mereka, berharap bahwa mereka akan memenuhi semua harapan dan keinginan kita. Namun, ketika mereka gagal—karena mereka juga manusia biasa—kita merasa kecewa, terluka, bahkan marah. Ini bisa menimbulkan jarak, perpecahan, dan rasa kesepian yang mendalam. Pada akhirnya, kita menemukan diri kita hidup di antara orang-orang, tetapi merasa terasing, membusuk dalam ekspektasi yang tidak pernah terpenuhi.


Dalam konteks ini, banyak orang mengalami apa yang disebut sebagai quarter-life crisis atau midlife crisis. Ini adalah fase di mana kita mulai mempertanyakan keputusan hidup kita, meragukan kemampuan kita, dan merasa seolah-olah kita telah gagal memenuhi ekspektasi diri sendiri dan orang lain. Seperti yang pernah diungkapkan oleh aktor Jim Carrey, “Saya pikir semua orang seharusnya menjadi kaya dan terkenal dan melakukan segala hal yang pernah mereka impikan sehingga mereka bisa melihat bahwa itu bukanlah jawabannya.” Jim Carrey berbicara dari pengalamannya sendiri, menunjukkan bahwa bahkan ketika kita mencapai apa yang kita anggap sebagai puncak kesuksesan, kita mungkin masih merasakan kekosongan yang tak terisi.


Hidup dalam ekspektasi yang terlalu tinggi juga bisa menimbulkan kecemasan yang mendalam. Kita mulai merasa tidak cukup baik, tidak cukup sukses, tidak cukup berharga. Setiap kegagalan, sekecil apa pun, bisa menjadi pukulan besar bagi harga diri kita. Kita mulai meragukan kemampuan kita untuk mencapai apa yang kita inginkan, dan ini bisa mengarah pada rasa putus asa dan kelelahan mental yang luar biasa. Hal ini tercermin dalam kutipan dari penyair Sylvia Plath, “Musuh terburuk bagi kreativitas adalah keraguan diri.” Plath memahami betul bagaimana keraguan diri yang dipicu oleh ekspektasi yang terlalu tinggi bisa membunuh kreativitas dan semangat hidup seseorang.


Mungkin, solusi untuk semua ini adalah belajar untuk melepaskan ekspektasi yang tidak realistis. Seperti yang dikatakan oleh Eckhart Tolle dalam bukunya The Power of Now, “Apa pun yang terkandung dalam momen saat ini, terimalah seolah-olah kamu telah memilihnya. Selalu bekerja sama dengan itu, bukan melawannya. Jadikan itu teman dan sekutu, bukan musuhmu.” Dengan menerima kenyataan saat ini, kita bisa mulai membebaskan diri dari belenggu ekspektasi yang membuat kita membusuk. Kita bisa mulai melihat hidup dengan lebih jernih, tanpa terperangkap dalam bayang-bayang masa depan yang tidak pasti.


Namun, proses ini tidaklah mudah. Kita telah begitu lama hidup dalam kerangka pikir yang menuntut kesempurnaan, sehingga melepaskannya bisa terasa seperti kehilangan identitas diri. Tapi ini adalah langkah penting untuk menemukan kembali kebahagiaan yang sejati—kebahagiaan yang tidak bergantung pada pencapaian atau pengakuan dari orang lain, tetapi yang lahir dari kedamaian batin dan penerimaan diri.


Hidup bukan tentang memenuhi semua ekspektasi, tetapi tentang menemukan makna dan kebahagiaan dalam ketidaksempurnaan. Seperti yang pernah dikatakan oleh seniman Banksy, “Ketika kamu lelah, belajarlah untuk beristirahat, bukan menyerah.” Dalam kata-kata ini, kita diajak untuk belajar menerima kelemahan dan kegagalan kita, untuk beristirahat dan kembali dengan kekuatan baru, daripada terus-menerus mengejar sesuatu yang mungkin tidak pernah bisa kita capai.


Pada akhirnya, meskipun kita mungkin ditemukan hidup, kita tidak perlu membusuk dalam ekspektasi. Kita bisa memilih untuk melepaskan, untuk hidup dengan lebih ringan, lebih bebas, dan lebih damai. Karena hidup yang sejati bukanlah tentang mencapai semua yang kita impikan, tetapi tentang menemukan kedamaian dalam perjalanan, apa pun yang terjadi.


Keresahan tentang ekspektasi adalah sesuatu yang dialami oleh banyak orang di berbagai fase kehidupan. Ekspektasi yang berlebihan bisa membuat kita merasa terbebani, tidak puas, dan bahkan merusak hubungan kita dengan diri sendiri dan orang lain. Namun, dengan melepaskan ekspektasi yang tidak realistis dan menerima kenyataan, kita bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang lebih sejati. 


Sebagai penutup, ingatlah bahwa hidup bukan tentang kesempurnaan atau pencapaian, tetapi tentang perjalanan dan pengalaman yang kita alami di sepanjang jalan. Seperti yang dikatakan oleh penyair Maya Angelou, “Kamu sudah cukup. Kamu tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun.” Kita tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun, termasuk kepada diri kita sendiri. Kita hanya perlu hidup, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaan kita, dan menemukan kebahagiaan dalam setiap momen yang kita miliki.https://www.haris.eu.org/

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url