Kebohongan Kecil yang Menghancurkan: Ketidakmampuanku Untuk Percaya Lagi
Kebohongan Kecil yang Menghancurkan. Hari itu, semuanya biasa saja. Seperti biasanya, aku pulang kerja, lelah, tapi tetap menyempatkan diri membuka ponsel untuk melihat pesan darimu. Hanya saja, kali ini ada yang berbeda. Ada rasa asing yang mulai muncul dalam diriku—seperti ada yang tak beres.
Pesan-pesanmu masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Cerita tentang aktivitasmu, candaan ringan, dan pertanyaan-pertanyaan yang selalu berusaha menghubungkan kami meski terpisah oleh jarak. Aku membalas seadanya, tapi dalam hati, ada sesuatu yang mengganjal. Ada satu kebohongan yang aku tahu. Satu kebohongan kecil yang kau pikir aku tidak akan pernah mengetahuinya.
Sore itu, aku menunggu saat yang tepat. Bukan untuk marah, bukan untuk menghakimi, tapi sekadar menunggu. Aku tidak tahu apa yang ingin kuharap. Mungkin aku berharap kau akan mengaku, mengungkap kebenaran sebelum aku harus mengungkapnya sendiri. Tapi semakin lama menunggu, semakin aku sadar bahwa kebenaran itu tidak akan pernah datang darimu.
"Apa kamu sibuk hari ini?" tanyaku, mencoba mencairkan suasana, meski hatiku sudah mulai retak.
"Enggak kok, cuma biasa aja, kerjaan doang," jawabmu. Santai. Seolah-olah tidak ada yang salah.
Aku tersenyum getir. Ini aneh. Kau berbohong, tapi masih bersikap biasa saja. Aku bisa saja langsung menuduhmu saat itu juga, tapi aku ingin melihat seberapa jauh kau akan mempertahankan kebohonganmu.
Sampai akhirnya, aku tidak bisa lagi menahan diri.
“Aku tahu kamu bohong.”
Hening. Kau tidak langsung membalas. Ponsel di tanganku terasa berat, menunggu kata-kata yang mungkin akan mengubah segalanya. Dan ketika balasanmu akhirnya muncul, kau tidak menyangkal. Kau hanya mengirimkan pesan pendek, "Aku bisa jelasin."
Tapi aku tidak butuh penjelasan. Saat aku tahu kau berbohong, semua kebenaran yang pernah ada di antara kita mendadak runtuh, seperti domino yang jatuh satu per satu. Bukan karena kebohongan itu besar atau mengerikan, tapi karena kebohongan itu ada.
"Aku cuma nggak mau kamu salah paham," lanjutmu. Kali ini, kau terdengar sedikit panik.
Namun, semua kata-katamu tak lagi berarti. Bagiku, kebohongan yang satu itu telah merusak semuanya. Kejujuranmu yang dulu terasa tulus kini hanya menjadi bagian dari skenario yang kau tulis. Setiap janji, setiap pengakuan, bahkan setiap tawa yang kita bagi, semuanya terasa kosong, tanpa makna.
Malam itu, aku mencoba merenung. Mencari tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Mungkin kebohongan ini hanya kecil, tapi efeknya tidak kecil sama sekali. Semua kepercayaan yang kuberikan padamu selama ini, semua keyakinan bahwa kau adalah orang yang jujur dan tulus, seolah direnggut dalam satu kedipan mata.
Keesokan harinya, kau mencoba berbicara lagi, meminta maaf, mengatakan bahwa itu hanya kesalahpahaman. Tapi aku sudah sampai pada titik di mana aku tak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang bohong. Setiap kata yang kau ucapkan kini terasa seperti permainan pikiran, seperti trik sulap yang kau lakukan dengan begitu lihai, hingga aku pun mulai meragukan diriku sendiri.
Aku tahu, aku bisa saja memaafkan. Aku bisa saja melupakan kebohongan itu dan melanjutkan hubungan kita seperti biasa. Tapi, bagaimana caranya aku bisa percaya lagi? Setiap kali kau berkata, "Aku janji," atau "Aku benar-benar peduli," suara kecil di kepalaku selalu berkata, "Bagaimana kalau ini cuma bagian dari kebohongannya?"
Dan di sinilah aku, duduk dengan segelas kopi di meja yang sama, memikirkan betapa kebohongan kecil itu telah mengubah segalanya. Kau mungkin menganggapnya sepele, tapi bagiku, sekali kau berbohong, semua kebenaran setelahnya hanyalah tipu daya.
Aku tak ingin hidup dalam bayang-bayang keraguan. Setiap kali kita berbicara, aku merasa seperti sedang menunggu ledakan bom waktu. Kapan lagi kau akan berbohong? Kapan lagi aku akan merasa dibohongi? Rasanya seperti berjalan di atas pecahan kaca, hati-hati agar tidak melukai diri sendiri, tapi tetap saja terluka.
Pada akhirnya, aku sampai pada kesimpulan sederhana: aku tidak bisa lagi mempercayaimu. Meski kau mencoba membuktikan bahwa kebohongan itu hanya sekali, aku sudah terlalu terjebak dalam ketidakpastian. Dan itulah yang paling menakutkan. Bukan kebohonganmu yang menghancurkan segalanya, tapi ketidakmampuanku untuk percaya lagi.
"Aku cuma ingin kita kembali seperti dulu," katamu suatu malam.
Aku tertawa pelan. Dulu? Apa itu masih mungkin? Karena bagi diriku yang sekarang, semua yang dulu kita bangun sudah runtuh. Semua yang dulu terasa nyata kini hanyalah bayangan dari kebohongan yang kau sembunyikan.
Dan saat itu, aku tahu bahwa aku harus pergi. Tidak ada lagi yang bisa diselamatkan. Kebohongan kecil itu telah menggerogoti fondasi hubungan kita, dan tak peduli seberapa keras kita mencoba, bangunan itu tak akan pernah kokoh lagi. Aku tak bisa lagi memisahkan mana yang benar dan mana yang hanya bagian dari tipu dayamu.
Sebelum aku pergi, aku sempat berbisik pada diriku sendiri, "Satu kebohonganmu cukup untuk merusak semua kebenaran yang pernah kita miliki." https://www.haris.eu.org/