Ketakutan Dan Sunyi yang Tak Bisa Dijelaskan

Ketakutan Dan Sunyi yang Tak Bisa Dijelaskan


Sunyi yang Tak Bisa Dijelaskan. Aku duduk di dalam kamar, lampu tidak terlalu terang, tidak juga terlalu redup. Semua tampak biasa saja. Dinding putih, lantai keramik, suara kipas angin yang berputar monoton. Tidak ada sesuatu yang aneh. Tapi di dalam kepalaku, ada kekacauan yang tidak bisa dijelaskan. Bukan seperti suara gaduh, bukan pula seperti dentuman keras. Tapi sesuatu yang pelan, namun konstan. Seperti detakan jam yang terdengar lebih keras ketika malam tiba—bukan karena suaranya berubah, tapi karena keheningan memaksamu mendengarkannya lebih jelas.


Aku tidak tahu apa yang kutakuti, tapi aku tahu aku takut.


Bukan takut mati. Bukan juga takut kehilangan orang-orang yang kucintai—meski itu juga menakutkan. Ini sesuatu yang lebih dalam, lebih hening, dan lebih jahat. Ini adalah ketakutan akan ketiadaan makna, bahwa semua yang kujalani ini bisa jadi tidak berarti. Bahwa aku bisa saja hidup bertahun-tahun dan tidak pernah benar-benar hidup. Bahwa aku bisa tersenyum, berbicara, pergi bekerja, pulang, makan, tidur—dan tidak pernah benar-benar merasa utuh.


Ada malam-malam ketika aku merasa seperti sedang mengapung. Seperti diriku bukan benar-benar di dalam tubuhku. Aku bisa melihat tanganku, tapi rasanya itu bukan tanganku. Aku mendengar suaraku, tapi seperti orang lain yang berbicara melalui kerongkonganku. Dan ketika aku mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya salah… semuanya membisu. Seolah otakku mengatakan, "Sudahlah. Jalani saja. Jangan terlalu banyak bertanya."


Tapi aku ingin bertanya.


Aku ingin tahu: kenapa aku bangun setiap hari dengan rasa sesak, bahkan ketika tidak ada apa-apa yang salah? Kenapa aku takut membuka ponsel dan membaca pesan dari orang-orang terdekatku? Kenapa aku takut tidur? Kenapa aku takut bangun?


Ada ketakutan yang tidak memiliki wajah. Ia tidak datang dengan suara pintu yang berderit atau langkah kaki di lorong gelap. Ia datang dalam bentuk kebiasaan yang hampa. Dalam bentuk kehidupan yang terasa seperti tugas sekolah. Dalam rutinitas yang membosankan tapi sulit ditinggalkan. Dalam tawa yang terdengar palsu, tapi tak ada pilihan selain tetap tertawa agar tak ditanya-tanya.


Kadang aku merasa seperti hidup dalam simulasi. Tapi tidak seperti film-film sains fiksi. Simulasinya bukan soal dunia yang tidak nyata. Tapi tentang bagaimana semua ini terasa terlalu diatur, terlalu normal, terlalu pas. Aku kuliah karena harus kuliah. Lulus karena harus lulus. Kerja karena harus kerja. Menikah karena harus menikah. Punya anak karena harus punya anak. Mati karena memang semua akan mati.


Siapa yang memutuskan bahwa hidup harus seperti itu?


Dan yang paling menakutkan adalah: bagaimana jika aku sendiri yang sebenarnya menyetujui semua itu? Bahwa aku bukan korban sistem, tapi bagian darinya. Bahwa aku menipu diriku sendiri dan berpura-pura menjadi "korban", padahal sebenarnya aku hanya pengecut yang tidak berani keluar dari zona aman.


Bayangkan: hidupmu sudah berjalan sejauh ini. Bertahun-tahun. Tapi suatu malam kamu duduk sendirian dan menyadari bahwa kamu tidak benar-benar tahu siapa dirimu. Kamu hanya tahu apa yang kamu lakukan, apa yang kamu miliki, dan bagaimana orang melihatmu. Tapi kamu tidak tahu siapa kamu ketika semua itu diambil.


Siapa kamu tanpa pekerjaanmu?


Siapa kamu tanpa pasanganmu?


Siapa kamu tanpa validasi sosial?


Dan kalau kamu tidak tahu jawaban dari itu... apa kamu benar-benar hidup?


Satu kali, aku pernah menatap bayanganku di cermin begitu lama sampai aku merasa sedang menatap orang asing. Matanya lelah, wajahnya kosong, dan bibirnya bergetar kecil seperti ingin menangis, tapi tidak jadi. Aku bertanya dalam hati, “Siapa kamu?” Tapi tidak ada jawaban. Karena bahkan suaraku pun takut menjawab pertanyaan itu.


Ketakutan ini... bukan soal kematian. Tapi soal hidup yang dijalani tanpa kesadaran. Seperti zombie. Berjalan, bergerak, bernapas, tapi tidak ada apa-apa di dalam dada. Tidak ada bara. Tidak ada api. Hanya angin dingin yang mengisi rongga tubuh.


Dan yang paling membuatku ngeri, adalah ketika aku menyadari semakin sedikit orang yang peduli.


Kita saling berbicara, tapi tidak benar-benar mendengarkan. Kita saling mengucapkan “semangat ya,” tapi tidak benar-benar peduli apakah orang itu baik-baik saja. Kita berbagi tawa di media sosial, tapi menangis diam-diam di kamar tidur. Kita memakai topeng yang berbeda untuk setiap orang, sampai akhirnya kita lupa wajah asli kita seperti apa.


Kadang aku berharap ada yang benar-benar menatapku dan berkata, “Aku tahu kamu takut.” Tapi tidak ada yang pernah benar-benar berkata begitu. Karena semua orang juga sibuk menyembunyikan ketakutannya masing-masing. Dan akhirnya, kita semua terjebak dalam permainan sandiwara besar—di mana semua orang berpura-pura kuat, padahal dalam hati mereka menggigil ketakutan.


Ini ketakutan yang paling kejam: ketakutan yang tak bisa kamu bagi.


Kalau kamu bilang kamu takut setan, orang bisa mengerti. Kalau kamu bilang kamu takut kecoa, orang bisa tertawa. Tapi kalau kamu bilang kamu takut menjadi tidak berarti, takut menjadi tidak nyata, takut tidak pernah benar-benar dikenal—orang akan bingung harus menjawab apa. Mereka akan bilang, “Wah kamu overthinking,” atau “Sudah deh, jangan terlalu dalam mikirnya.” Padahal... itu bukan overthinking. Itu adalah jeritan paling jujur dari bagian terdalam jiwamu.


Dan kamu tahu apa yang lebih buruk dari itu?


Ketika kamu mulai terbiasa.


Ketika ketakutan itu tidak lagi membuatmu menangis, tapi hanya membuatmu diam. Tidak lagi membuatmu gelisah, tapi malah membuatmu dingin. Seolah kamu sudah menyerah. Seolah kamu sudah menerima bahwa ini memang hidup yang harus kamu jalani. Tanpa gairah. Tanpa makna. Tanpa tanya.


Kamu menjadi benda yang hidup. Tidak lebih.


Dan malam-malam seperti ini—saat semua orang tidur, saat kota mulai sepi, saat hanya ada suara detak jam dan desah napasmu sendiri—itulah saat paling jujur. Kamu tahu kamu takut. Tapi kamu juga tahu kamu tidak tahu bagaimana cara berhenti.


Mungkin... itulah yang paling menakutkan: bahwa ketakutan ini tidak punya ujung.


Kamu tidak bisa lari. Tidak bisa melawan. Tidak bisa minta tolong. Karena musuhnya bukan sesuatu yang ada di luar. Tapi sesuatu yang hidup di dalam kepalamu sendiri.


Dan kamu... hanya bisa diam. Dan berharap besok pagi kamu bisa bangun, mencuci muka, dan berpura-pura lagi bahwa semuanya baik-baik saja.


Ketakutan tidak selalu datang dengan jeritan atau bayangan di dinding. Kadang ia datang dalam bentuk keheningan. Dalam bentuk tatapan kosong saat menatap langit-langit kamar. Dalam bentuk "aku baik-baik saja" yang diucapkan terlalu sering.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url