Penjahit Kenangan - Lembayung yang Terajut di Ujung Jarum

Penjahit Kenangan


Di kota ini, waktu adalah genangan air yang tak pernah mengalir statis dan berbau besi. Arka tinggal di sebuah celah sempit di antara dua gedung tinggi yang saling membenci, di sebuah toko yang papan namanya telah dihapus oleh angin. Ia bukan sekadar penjahit; ia adalah Anamnesis, sang pemulung sisa-sisa batin. Ia merajut apa yang telah dilumat oleh waktu: janji yang dikhianati, igauan demam, hingga keheningan yang tercipta di antara dua orang yang berhenti saling mencinta.

Suatu petang, ketika langit berubah warna menjadi ungu lebam, seorang wanita masuk membawa aura musim dingin yang prematur. Ia tidak membawa kain. Di atas meja kayu yang permukaannya telah terluka oleh ribuan goresan jarum, ia meletakkan sebongkah kristal biru pucat. Itu adalah tangisan yang membeku sebuah fragmen duka yang begitu murni hingga ia menolak untuk menguap ke udara.

"Jahitkanlah kebebasan untukku," kata wanita itu. Suaranya tidak keluar dari tenggorokannya, melainkan dari kedalaman gua yang gelap. "Aku lelah menanggung kedinginan ini sendirian."

Arka menyentuh kristal itu. Dinginnya menjalar, memanjat nadi lengannya, dan berbisik langsung ke jantungnya tentang sebuah kehilangan yang tak bernama. Arka mengambil jarumnya sebatang duri dari mawar hitam yang tumbuh di makam penyair. Benangnya adalah untaian cahaya bulan yang ia kumpulkan dari jendela-jendela orang yang terjaga karena rindu.

"Duka yang beku adalah bahan yang rapuh, Nyonya," Arka berbisik tanpa menoleh. "Jika aku salah menusuk, kenangan di dalamnya akan pecah dan melukaimu selamanya. Apakah kau bersedia menanggung risiko menjadi cacat oleh masa lalumu sendiri?"

Wanita itu hanya menatap perapian yang hampir padam. "Bukankah kita semua hanyalah sekumpulan luka yang terbungkus kulit?"

​"Baiklah jika begitu," Arka mengambil jarumnya. "Setiap tusukan jarum ini akan memindahkan sebagian perihnya ke jari-jariku. Apa kau juga siap melihat orang lain menderita karena duka yang kau bawa?"

Wanita itu terdiam. Ia menatap ke luar jendela, ke arah jalan yang basah. "Bukankah dunia ini sudah penuh dengan penderitaan yang berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya?" 

Maka, dimulailah ritus itu. Setiap kali jarum perak itu mematuk kristal biru, terdengar denting yang menyayat seperti suara kaca yang pecah di kejauhan. Ruangan itu mendadak penuh dengan halusinasi: aroma parfum yang telah kedaluwarsa, bayang-bayang tangan yang saling melepas, dan gema langkah kaki yang menjauh. Arka menjahit dengan napas yang tertahan. Jemarinya retak, mengeluarkan cairan bening yang beraroma garam laut, namun ia tak goyah. Ia sedang menyatukan kembali kepingan jiwa yang telah hancur.

Tujuh malam kemudian, kristal itu telah menjelma menjadi syal panjang yang nampak seperti aliran sungai di bawah cahaya bintang. Beratnya tak masuk akal; seberat sebuah penyesalan yang tak terucapkan.

Saat wanita itu melingkarkannya di leher, ia tidak merasa hangat. Namun, ia merasa genap. Syal itu tidak menghapus dukanya, melainkan memberinya bentuk yang indah sebuah beban yang kini memiliki nama.

Wanita itu melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Di belakangnya, Arka kembali duduk di kursinya yang ringkih. Ia melihat setitik warna biru yang tertinggal di ujung jarumnya. Ia tersenyum tipis. Kota ini akan selalu hujan, pikirnya, dan akan selalu ada duka yang butuh ditenun agar manusia tidak mati kedinginan oleh kehampaan mereka sendiri.https://www.haris.eu.org/

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url